Rabu, 29 Desember 2010
Garuda Di Dadaku
Namun apakah rasa nasionalisme berlaku hanya pada saat sepak bola aja?? apa kita cuma membela negara Indonesia pada waktu ada pertandingan sepak bola?? atau apakah kita merasa Indonesia banget cuma ketika mendukung timnas kita bermain di lapangan hijau daun suara dengarkanlah aku apa kabarnya pujaan hatiku??
Seharusnya dan tentu saja tidak.
Garuda didadaku bukan cuma sekedar lagu, bukan cuma sekedar kata-kata, bukan cuma sekedar pertandingan sepak bola. Garuda di dadaku adalah salah satu bentuk rasa nasionalisme kita terhadap apapun, bukan cuma pas maen bola doank.
Karna itulah, kita tanamkan Garuda di dada kita masing-masing, dimanapun dan kapanpun kita berada.
Selasa, 28 Desember 2010
Oi, Adiknya Hendrik !!
Masa Orientasi Siswa, singkatan dari MOS, adalah 3 hari awal di SMP, dimana kakak kelas melancarkan aksi untuk membuat murid baru menjadi kerepotan, dan jujur aja sangat membosankan. Berpetualang di lingkungan sekolah, mencari kelas yang dituju, dan mendapatkan tanda tangan dari target yang ditentukan. Kemudian disuruh bawa barang-barang aneh gak jelas tujuannya, yang endingnya tu barang jadi sampah. Dalam bahasa yang sederhana, MOS itu intinya adalah pengenalan sekolah kepada murid baru (dan tujuan membawa barang-barang aneh pun masih tetap misteri abadi).
Alkisah pas misi mencari tanda tangan anggota OSIS, bersama teman-teman yang baru dimasukkan dalam daftar “best pal”, kita semua berkeliling sekolah, mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir indah, bersamudera, bersama teman, semuanya...
Mulai dari komplek anak kelas 2 A sampai kelas 3 G, semua dijelajahi. Kebetulan kakakku yang bernama Heinrich (dalam bahasa Indonesia menjadi Hendrik) juga berguru di SMP 21. Dan ketika berada di komplek kelas 3, muncullah sesosok dua sosok tiga sosok, yang berkata, “oi, ada adiknya Hendrik!!”. Bisa ditebak, suara itu muncul dari penggemarku.
Kata-kata,”oi, ada adiknya Hendrik!!” ternyata masih tetap berlangsung bahkan sampai MOS berakhir. Aku pun sempat menambah MOS menjadi seminggu, namun kata-kata,”oi, ada adiknya Hendrik!!” tidak sirna jua. Tiap lewat komplek anak kelas 3, atau bertemu dengan anak kelas 3 di kantin, atau bahkan berpapasan dengan anak kelas 3 di wc saat menerima panggilan power ranger, kata-kata itu tetap terlontar sejauh 5 meter panjangnya.
Karena masalah ini, namaku menjadi lenyap ditelan kata-kata,”oi, ada adiknya Hendrik!!” dikalangan anak kelas 3, dimana seharusnya aku dipanggil ”oi, ada si tampan!!”. Hal ini juga membuat nama kakakku semakin melambung tinggi di angkasa, sementara aku semakin ditelan dan dikunyah.
Otakku yang tadinya bermalas-malasan sekarang mulai berputar lagi. Selain mikirin buat pelajaran, aku juga mikirin, bagaimana caranya menghilangkan budaya panggilan seperti itu. Beberapa ide buat mencari nama pun muncul, seperti membajak kantin, mengebom wc, meneror ruang kepala sekolah, dan lain-lain. Tapi hanya satu yang memungkinkan, yaitu mengubah gaya rambut !!!
Sebuah cara mengubah style diri dengan menata rambut sedemikian rupa menyerupai artis tak dikenal. Terinspirasi dengan gaya rambut temanku, Firman, yang juga seperti rambutnya Tintin, yaitu bergaya jambul. Dengan mengobrak abrik bagian poni, dan menatanya keatas bagai tanduk macan (pada adegan ini, tampak jelas jidatku yang lebar terbang ke angkasa). Setelah 40 hari 40 malam berpuasa, akhirnya tatanan rambut ala Tintin beraksi, bagai gorilla di daun talas. Dengan langkah tegap maju jalan, bersama teman-teman sehati dan sejiwa, melewati kawasan anak kelas 3. Beberapa teman kakakku ada yang mengawasi dengan seksama dan tersilaukan oleh kemilau cahaya jidatku yang lebarnya minta ampun, dan kemudian seperti orang yang melihat cahaya keabadian, mereka berkata,”oi, ada adiknya Hendrik!!”.
Misi pun gagal dan kasus ditutup.
Otakku kembali berpikir,sebenarnya ada apa gerangan yang menyebabkan adanya panggilan seperti itu. Apakah karna nama Louis kurang populer atau nama Hendrik lebih populer, hanya Tuhan yang tahu. Setelah mencari dan berpikir dengan seksama, akhirnya lampu neon menyala. Bukan masalah nama mana yang populer, tetapi karena keberadaan kakakku yang populer. Bahkan keberadaanku menjadi dikenal karena kakakku, walaupun dengan sebutan, “adiknya Hendrik”. Dan sepertinya tidak ada masalah dengan sebutan itu, setidaknya teman dan guruku tidak menyebut begitu, tetapi dengan sebutan “si bodoh”.
Kelak suatu saat di masa mendatang, dimanapun aku berada, baik di wc ketika menerima panggilan power ranger, atau mungkin di kamar mandi ketika menerima panggilan alam, kalau ada temennya Hendrik, pasti aku dipanggil,”oi, adiknya Hendrik!!”
(Bukan) Sinterklas Biasa
Semangat Natal seharusnya terasa setiap hari, bukan cuma pas Natal doank. Semangat untuk berbagai kasih, berbagi senyuman, dan berbagi pulsa, itu semua bisa dilakuin tanpa nunggu hari Natal. Sama halnya dengan hari Lebaran, mau minta maaf kan juga gak harus nunggu berbulan-bulan, juga hari Valentine, mau memberi kasih sayang kan gak cuma pas Valentine doank, ntar kasian anak-anak bayi yang gak dapet kasih sayang selama setaun, bisa-bisa ntar jadi berandalan dini hari.
Minggu, 26 Desember 2010
Upin Ipin vs Unyil 3-0
Kekalahan timnas Indonesia melawan Malaysia dengan skor 3-0 piala AFF tanggal 26 Desember 2010 cukup mengiris hati, membuat mahasiswa menjadi gak mood kuliah besok harinya. Ketika pertandingan berlangsung pun sempat terjadi insiden "laser" dan juga munculnya mercon (yang saya kira pertandingan udah selesai).
Laser diduga (dan kayaknya emang iya) berasal dari suporter Malaysia. Mungkin merconnya juga dari orang Malaysia. Atau mungkin lasernya canggih, abis ngeluarin cahaya, trus keluar juga deh merconnya.
Entah karna insiden ini atau pengaruh hal laennya, yang jelas pemain Indonesia mulai kurang konsentrasinya dan mengalami kebobolan hingga 3-0.
Tentu aja banyak pihak yang menangisi kekalahan ini, sampe-sampe kudu ngupas bawang supaya nangisnya keliatan natural.
Semoga saja di pertandingan selanjutnya, suporter Indonesia tidak membalas dengan melakukan hal yang sama, bawa-bawa lasernya star wars terus pake bazooka ditembak ke tengah lapangan. Biar timnas Indonesia aja yang membalas dengan gol kemenangan 5-0...
Jumat, 24 Desember 2010
Salju
Natal identik dengan pohon hias, sinterklas, kado, dan yang paling aneh adalah salju. Kalo pohon hias masih mungkin muncul, semua orang bisa membuatnya dan bisa menemukannya di rumah warga yang sedang merayakan natal. Lalu sinterklas, dapat ditemukan di mal dengan modus supaya makin banyak yang belanja. Kado sendiri pun tanpa menunggu natal, bisa didapatkan ketika ulang tahun. Lha kalo salju??
Jarang banget nemuin salju pas natal, terutama untuk negara yang kena iklim tropis gini. Jangankan cuaca dingin, paling mentok juga cuma hujan deres. Jadi untuk mengakalinya, biasanya orang-orang pake kapas warna putih atau mungkin kalo ada upil yang uda tua berwarna putih supaya bernuansa salju atau kebarat-baratan.
Selasa, 21 Desember 2010
Teori Konspirasi Kata Unyu
Di pertengahan 2010 ini, muncul sebuah istilah yang cukup menggemparkan dunia anak “gahol”. Sebuah istilah yang tidak semua orang mengerti apa artinya. Emang mudah buat ngucapin kata tersebut, tapi tetep aja memiliki artian yang rancu. Ibaratnya pake celana tapi gak tau itu celana bolong apa kagak.
Entah itu di jejaring social facebook ataupun jejaring social twitter, atau mungkin di jejaring ikan pak nelayan, istilah itu muncul. Biasanya digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang lucu, imut, menggemaskan, romantis, dan hal-hal lainnya yang bikin pengen nyubitin orang. Terkadang juga sebagai panggilan untuk sang pacar, atau juga kondisi psikologis yang lagi moody.
Hampir tidak ada orang yang mengetahui apa artinya dan siapakah penemu dari istilah ini. Sama dengan kebanyakan istilah lainnya yang tetap menjadi misteri, namun masih dapat dimengerti. Sejarah mencatat bahwa istilah ini tidak pernah dicatat dalam sejarah, hanya dicatat dalam pikiran dan kenang-kenangan masing-masing individu.
Sebuah account twiiter yang bernama, “faklah (faktanya adalah)” pernah mempublikasikan arti dari istilah ini. Account tersebut bersasksi bahwa istilah ini berasal dari bahasa sansekerta yang artinya “anjing”. Namun selang beberapa jam kemudian, account ini mengucapkan maaf karena ternyata bukan berasal dari bahasa sansekerta dan artinya juga bukan “anjing”.
Sebagai mahasiswa dengan tingkat integritas yang pas-pasan, saya mencoba untuk menyelidiki apa arti istilah ini.
Berdasarkan kemunculannya, ada kemungkinan kata ini berasal dari kota Jakarta. Seperti yang kita tau, Jakarta itu terletak di Asia tepatnya di Asia Tenggara, dan berada di negara Indonesia, juga merupakan ibu kota negara Indonesia, dan juga berada di pulau Jawa.
Jakarta merupakan kota metropolitan. Berbagai jenis hiburan ada disini. Standar trend pun juga berasal dari kota ini dan disebarkan melalui sinetron-sinetron yang ada. Bisa dikatakan Jakarta merupakan basis dari segala lifestyle yang ada. Itulah yang menyebabkan saya berpendapat bahwa istilah unik ini berasal dari kota Jakarta.
Kemudian istilah ini juga menggunakan kombinasi huruf yang sama sekali gak cowok banget. Kombinasi huruf yang cowok banget biasanya dapat diucapkan dengan tegas dan memiliki akhiran. Sehingga saya berspekulasi bahwa istilah ini berasal dari kaum wanita yang ”gahol”.
Dengan didasari oleh penyelidikan yang saya lakukan, saya mencoba membuat kronologis kejadian terbentuknya istilah yang imut ini.
Awalnya ada sekelompok cewek ”gahol” yang sedang melakukan aktivitas normalnya, ”nongkrong” di mall terdekat. Yang namanya cewek, pastinya mereka melakukan apa yang namanya ngegosip. Ketika mereka bergosip, tiba-tiba perhatian mereka dialihkan oleh sesosok orang yang memiliki kemajuan dibidang mulut, alias monyong. Salah satu dari gerombolan cewek ”gahol” tadi kemudian tertawa dan membicarakan orang tadi sambil memonyong-monyongkan mulutnya supaya keliatan lebih mirip.
Keesokan harinya, becandaan ini berlanjut. Cewek-cewek ”gahol tersebut mempraktekkan gaya monyongnya didepan teman-temannya yang lain, bahkan sampai didokumentasikan dikamera hape dan dipublikasikan lewat jejaring sosial. Foto ini kemudian diliat oleh banyak orang. Dan ketika yang melihat adalah kaum cewek, komentar yang keluar adalah,” ih monyong, monyong..” kebetulan yang berkomentar adalah cewek dengan logat seperti Cinta Laura yang rada ”kebule-bulean gitchu”. Cewek lain yang mendengar komentar ini pun kemudian memplesetkannya menjadi ”ih munyung munyung”. Dari kata ini kemudian berkembang menjadi,” ih, unyu unyu”.
Begitulah proses terjadinya istilah ”unyu” yang nyaris berlaku diberbagai situasi dan kondisi imut gak jelas.
Minggu, 19 Desember 2010
Gol
Bagaimana dengan tim sepak bola dari Indonesia sendiri??
Sabtu, 18 Desember 2010
Gambaran Anak DKV
Seperti kebanyakan mahasiswa fakultas lain, yang bentuknya rata-rata sama, namun jika diteliti lebih dalam lagi, mungkin orang akan mengira kalo anak DKV itu freak. Kalo dapet tugas, pasti khalayak umum bakal heran dengan apa yang dikerjakannya. Bahkan keanehan mahasiswa DKV dapat dilihat dijalan.
Suatu ketika kalo pas lagi di jalan, trus ada mahasiswa yang naek motor, sambil bawa maket, ato kertas ukuran a2, atau amplop ukuran a3, ato mungkin sebuah packaging yang terbuat dari kaleng bekas, silahkan ditanyakan apakah dia mahasiswa DKV ato bukan.
Jarang
Stress
Cosplay
Sabtu, 11 Desember 2010
Delete
Tugas Lagi?!
Murid Baru diantara Murid-Murid Baru
Upacara jam 7 pagi pada waktu itu emang sangat mendebarkan. Tidak seperti upacara biasanya yang cuma dengerin ceramah membosankan, karna upacara kali ini upacara penerimaan murid baru SMP. Tampak dari sana sini, berbagai macam wajah anak ingusan yang mulai berubah dari SD ke SMP, seperti perubahan dari pikachu menjadi raichu, agumon menjadi greymon, jean grey menjadi phoenix, dan pria berubah jadi waria.
Satu persatu nama anak manusia dipanggil, mulai dari anak yang masuk kelas 1A, 1B, 1C, sampai yang masuk neraka juga disebutin. Yang bisa kulakukan sambil nunggu namaku dipanggil cuma ngeliatin tampang anak-anak disekelilingku. Suatu saat diantara mereka pasti ada yang jadi pacarku....maksudku jadi teman seperjuanganku. Sementara mataku mengawasi sekitar, otakku mulai berimajinasi.
Terbayang ketika ulangan, anak-anak yang lain sibuk buka contekan, sedangkan yang kulakukan hanya duduk tenang hingga 30 menit terakhir lalu mengatakan mantra rahasia kepada salah satu temanku, ”contekin dong..” Dan ketika hasil ulangan dibagikan, terpampang tulisan ”perfecto” di lembar ulanganku. Suatu adegan lagi yang kubayangkan, ketika pelajaran olah raga. Anak-anak lain pada melakukan pemanasan, sedangkan yang kulakukan hanya stay cool dan berkata ,” kalian hanya menghabiskan tenaga aja..” Dan ketika pelajaran olah raga berlangsung, tampak tubuhku roboh karena keram.
Imajinasiku mulai buyar karena sensor dikuping mendengar namaku dipanggil. Sistem saraf disekitar tubuh menghubungi syaraf pusat untuk segera menghentikan imajinasi bodoh. Aku jalan kedepan dan segera mengikuti anak yang didepanku. Ditengah perjalanan muncul sesosok bocah dari belakang dan bertanya,
”kelas 1F dimana ya?”
Berdasarkan pertanyaan ini, insting detektifku mulai menganalisa, ternyata aku kelas 1 E.
”wah, nggak tahu tuh, kamu juga 1E?”
”iya, eh, kenalan dulu, Lukman.”
”oh iya, Louis.”
Berdasarkan perbincangan ini, insting detektifku kembali menganalisa, ternyata bocah ini bernama Lukman, dan ternyata namaku adalah Louis.
Perjalanan berlanjut hingga ke kelas yang diberi kode ”1E”. Adegan pun berganti didalam kelas. Situasinya sepi, walopun ada beberapa anak yang berisik bisik-bisik, ato bisik-bisik berisik. Ada beberapa temanku yang dari SD Antonius, tapi karena duduknya jauh, jadi nggak bisa bisik-bisik berisik. Kegiatan bisik berbisik akan terhenti sejenak tiap ada anak yang masuk kelas, mulai dari yang ganteng setengah mati, cantik minta ampun, pasti diem sejenak. Kecuali kalo ada anak yang unik ato aneh masuk kelas, akan terdengar suara ketawa yang ditahan tanda mengejek.
Dan beda dengan sebelumnya waktu di SD Antonius, ternyata lebih menyenangkan menjadi murid baru diantara murid-murid baru. Setidaknya tidak ada senioritas didalam kelas. Selain itu aku nggak akan tampak bodoh karna nggak tahu apa-apa, walopun mungkin dalam beberapa minggu kedepan aku akan kembali tampak super bodoh seperti sebelum-sebelumnya. Dalam 3 tahun aku akan tampak super bodoh di SMP 21 ini....
Minggu, 14 November 2010
Mahal
Karna baru pertama kalinya merasakan lulus SD (karna SD cuma sekali aja), aku yang waktu itu masih kecil imut imut mengenaskan, benar-benar belum punya gambaran akan melanjutkan hidupku ini dengan cara seperti apa. Sementara beberapa temanku udah ada yang mulai mendaftar di SMP-SMP terdekat, bahkan sebelum perang akhir dengan ujian dimulai. Aku pun sadar langkah apa yang harus dilakukan selanjutnya pada level ini,, mendaftar SMP juga..
Entah bagaimana ceritanya dan bagaimana alurnya, aku mendaftarkan diriku di SMP 21 dan SMP Yohanes. Berkali-kali aku berpikir apa gerangan visi dan misi ku hingga daftar kesana? Apa sebab dan akibat bila aku daftar kesana? Apa latar belakang dan tujuanku daftar kesana? Apa yang terjadi bila aku daftar kesana? Berapa banyak yang kehilangan kesempatan sekolah kalo aku daftar kesana? Berapa jarak yang harus ku tempuh kalo aku daftar kesana? Berapa banyak bakso yang bisa ku beli kalo daftar kesana?
Pertama mendaftar ke SMP Yohanes dulu. Beberapa temen SD ku juga ada yang muncul disana ikutan daftar. Tahap demi tahap dilewati, seperti ngumpulin ijazah dengan foto bergambarkan tampang bodoh terpampang disana, ngisi formulir dengan sejujur-jujurnya, mengumpulkan formulir dengan sopan santun menggunakan tangan kanan yang baik dan benar, serta lain-lain. Yang paling aneh adalah pada saat tahap wawancara (kebetulan ini pertama kalinya diwawancara).
”kamu punya televisi?” tanya sang pewawancara.
”punya pak.”
”ada berapa dirumah?”
Sempat berpikir sejenak,apakah aku harus berkata jujur ato berbohong?? Kalo berbohong kan dosa, tapi kalo gak bohong, informasi penting bakal ketahuan. Akhirnya mau tidak mau karna dosa ku juga sudah banyak, aku jawab apa adanya.
”televisi cuma satu pak dirumah.” Padahal kenyataanya lebih dari satu.
”kalau kulkas punya?”
”punya pak.”
”berapa?”
”kulkas cuma satu pak.” kali ini aku jujur, jadi skor sementara 1 -1.
”kalau motor punya tidak?”
”punya pak.”
”ada berapa?”
Kembali aku berpikir lagi sejenak,apakah harus jujur atau bohong?? Berhubung tadi sudah berbohong, mau nggak mau aku jawab,
”cuma satu pak.” dan dengan ini dosa ku bertambah 1 lagi.
Untuk sesi wawancara saja aku sudah menambah beberapa dosa, bayangkan dengan kehidupan nyata, pastinya dosaku lebih banyak.
Yang kedua, daftar ke SMP 21. Sebelumnya dikasih dua pilihan, SMP 21 ato SMP 12, tapi apa bedanya, sama-sama sekolah negeri, cuma angkanya aja yang dibolak-balik. Aku pun belum ada bayangan seperti apa rasanya bersekolah di sekolah negeri, sebelumnya hanya sekolah swasta aja yang berhasil ku jamah. Namun sepertinya hanya orang kelas menengah kebawah yang mendaftar disini. Anak-anak yang datang bersama orang tuanya terlihat berpenampilan sederhana dan bersahaja, beda dengan sekolah swasta, yang daftar biasanya tampak elegan. Sementara di sekolah swasta selalu ada orang cina, tapi di sekolah negeri, jangankan orang cina, yang matanya sipit aja langka. Tapi kelak orang-orang pribumi berpenampilan sederhana dan bersahaja itulah yang menjadi teman seperjuanganku nanti selama 3 tahun. Dan semoga ada orang yang mampu mengajariku bahasa Jawa.
Hari-hari setelah mendaftar hawanya tegang menunggu pengumuman lebih lanjut.
Apakah ada yang mau menerima murid paling berdosa sejagad ini? Sekolah manakah yang mau menerima? Seandainya tidak ada yang mau menerima, mungkin aku akan belajar secara otodidak membuat komik yang baik dan benar. Atau mungkin aku akan ikutan casting jadi pemain sinetron di tipi. Atau mungkin juga aku akan naik mesin waktu ke masa depan dan mencari tahu, di SMP mana aku bersekolah, jadi nanti tinggal daftar di SMP itu (pemikiran yang jenius tapi bodoh).
Pada kenyataanya, kedua SMP itu mau menerimaku, dan senangnya bukan kepalang karna aku nggak jadi naik mesin waktu ke masa depan. Ternyata kemampuanku sungguh hebat, mampu menaklukan dua sekolah seorang diri. Namun justru timbul masalah baru, manakah yang harus kupilih?
Hawanya kembali tegang karna aku harus segera menentukan pilihan sebelum waktu habis dan bom meledak. Apakah kabel biru ato kabel merah yang harus digunting? Berhari-hari memikirkan ini, tiba-tiba ibuku muncul dan berkata,
”pilih SMP 21 saja.”
Mengingat sebelumnya ibuku selalu menempatkanku di sekolah swasta, namun kenapa tiba-tiba memilih sekolah negeri. Oleh sebab itu aku bertanya,
”loh, emang kenapa bu?”
Kemudian ibuku menatap dengan sungguh-sungguh dan berkata,
”SMP Yohanes itu uang pembangunannya mahal, lebih murah SMP 21..”
Selasa, 26 Oktober 2010
Happy Ending
Suatu ketika seorang pasukan khusus diterjunkan ke sebuah pedalaman asing. Entah bagaimana caranya orang itu harus bisa berbaur dengan masyarakat setempat. Dengan berbekal kemampuan individunya yang canggih dan spektakuler, serta pengetahuan tentang budaya penduduk di daerah pedalaman tersebut yang lumayan, dalam waktu beberapa bulan, orang itu sudah mampu beradaptasi. Dan seperti film pada umumnya, kisah ini berakhir happy ending. Tidak hanya beradaptasi, bahkan pasukan khusus tersebut berhasil menghidupkan masyarakat setempat.
Berbeda dengan kisah yang satu lagi. Seorang anak diterjunkan ke sebuah kota yang menurutnya asing namun bagi orang lain justru anak itulah yang asing. Entah bagaimana caranya tuh anak harus bisa berbaur dengan anak-anak SD setempat. Dengan berbekal kemampuan individu pas-pasan, serta pengetahuan tentang budaya penduduk di daerah sana yang minim, dalam waktu beberapa minggu aja uda gak betah. Dan seperti film pada gak umumnya, kisah ini mungkin berakhir dengan sangat mengganjal tenggorokan. Jangankan teman dekat, diakui aja enggak.
Itulah yang terjadi pada diriku selama mengemban tugas sebagai pelajar mata-mata kelas 6 di SD Antonius 02. Situasinya benar-benar seperti medan tempur antara 2 suku pedalaman yang bersengketa memperebutkan lahan parkir. Kehadiranku mungkin cuma sebagai lelucon. Bayangkan, seorang bocah dengan tampang konyol tanpa prestasi apapun berani-beraninya hadir dihadapan para anak senior yang lebih dulu menjajah sekolah.
Kalo tidak salah ada seorang anak yang seharusnya udah SMP, tapi pada kenyataannya dia masih kelas 6 SD. Dan jumlah anak itu tidak hanya satu. Bisa dibilang merekalah pemegang sekolah selama bertahun-tahun, setelah kepala sekolah tentunya. Salah satunya yang terkenal namanya Yoyo, dan kebetulan anak ini sekelas. Pernah suatu ketika seorang anak nangis karna ulahku, dan pada saat itu juga si Yoyo datang menghampiri sambil marah-marah, menempeleng, dan berkata,” koncoku mbok apakke??! kowe ki cah anyar rak usah kemaki.” untuk sejenak aku gak paham sama kata-katanya, tapi setelah buka alfalink, artinya adalah,” temenku kamu apain??! Kamu tu anak baru nggak usah bertingkah.”
Rintangan tidak hanya itu, masih ada pelajaran Bahasa Jawa, sebuah pelajaran yang mirip dengan pelajaran Bahasa Indonesia, namun lebih susah dan menggunakan Bahasa Jawa, Aksara Jawa, pantun Jawa, logat Jawa, Budaya Jawa, dan Jawa-Jawa yang lainnya. Seandainya aku orang bule, mungkin ini bisa jadi pelajaran favorit sepanjang abad (karna konon katanya orang barat sana sangat menyukai budaya Jawa), namun sayangnya kenyataan berkata lain, aku bukan orang bule, aku orang pribumi tulen. Selama setaun pelajaran inilah yang paling anjlok (setelah IPA dan IPS). Sempat berpikir, jangan-jangan ntar nggak lulus gara-gara pelajaran Bahasa Jawa ini.
Hampir semua problematika anak SD kelas 6 aku hadapi sendiri, mulai dari pelajaran, pertemanan, bahkan percintaan. Waktu itu pun aku pernah nembak cewek pake surat, tapi hasilnya NOL besar, cinta ditolak habis-habisan. Seandainya waktu itu punya dukun.. maksudku temen deket, setidaknya bisa konsultasi dulu sebelum melakukan tindakan bunuh diri. Masalah pelajaran juga sangat memprihatinkan. Di hari awal sekolah, satu-satunya anak yang nggak ngerjain tugas rumah adalah...aku... seandainya waktu itu punya temen deket, setidaknya bisa nyonto dulu pas pagi hari sebelum ayam betina berkokok. dan ketika itu pun aku disuruh les privat sama om ku sendiri yang kebetulan guru SD (dan berkali-kali aku pura-pura ngantuk biar nggak jadi les).
Begitulah nasib dari seorang pasukan khusus atau biasa disebut dengan ”anak kuper”. Melakukan segalanya sendiri, hampir segalanya, karna ditengah-tengah medan pertempuran aku mendapat bantuan dari penduduk lokal (sebut saja temen-temen sekelas) yang merasa iba. Si Yoyo pun berhasil diatasi dengan cara,”tidak melakukan ulah” lagi. Cara tersebut juga ampuh untuk mengatasi masalah dengan para senior yang lain. Memang pada kodratnya mungkin seorang anak baru tidak boleh ber ulah ataupun ber tingkah, yang boleh cuma para pejabat sana.
Pelajaran Bahasa Jawa yang tadinya ”hancur” pun kini sudah tidak begitu ”hancur”. Dengan tekad pejuang kaki lima, aku belajar mati-matian buat menghapal segala aksara jawa yang ada (dan kurang dari 50% yang bisa dikuasai). Alhasil aku berhasil naik ke tingkat yang lebih mending dari kata ”hancur”, yaitu tingkat ”parah”.
Dan ternyata akhirnya, seperti film-film Bollywood pada umumnya, kisah ini happy ending. Bocah itu (maksudnya aku) berhasil lulus dengan nilai pas-pasan, dia (lagi-lagi maksudnya aku) pun berhasil beradaptasi dengan penduduk lokal (dan sekali lagi sebut saja temen-temen sekelas), walaupun cintanya tetap bertepuk pramuka..
Kemudian masa SMP menunggu dengan manisnya di lembaran hidupku berikutnya...
Rabu, 20 Oktober 2010
Bosan Dahulu Senang Belakangan
Pada awalnya sekolah di SD Antonius 02 memang membosankan, tapi lama kelamaan seiring berjalannya waktu, ternyata tetap membosankan. Mengapa bisa membosankan?? Padahal dibanding Batam, Semarang lebih nyaman buat dihinggapi. Kalau sempat curhat pada orang lain, pasti jawaban yang didapat adalah,”sudahlah, itu nasibmu” sebuah jawaban yang dilontarkan apabila pikiran sedang buntu. Namun setelah mengadakan penelitian lebih lanjut oleh pihak berwajib, ternyata bukan hanya faktor nasib saja, faktor bahasa lah yang paling berpengaruh.
Betapa susahnya buat ngobrol sama anak yang lain di minggu minggu awal. Sebagian besar dari mereka menggunakan bahasa Jawa yang baik dan benar, bukan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Aku pun teringat ketika di Batam dulu, seorang teman Chinese ku ngobrol dengan sesama Chinese menggunakan bahasa Mandarin, dan yang bisa aku lakukan hanya memajang wajah cool dan berkata, ”ngomongin apaan sih??”. Sama halnya dengan di Semarang. Kalau ada yang ngobrol pake bahasa Jawa, yang bisa kulakukan adalah memajang wajah tampan dan berkata,”ya, wajahku memang tampan.”
Walaupun hanya ada satu kendala, tapi ketika menyangkut penggunaan bahasa, bisa mempengaruhi segalanya. Karena kendala bahasa inilah aku sampai gak punya teman sepermainan diawal awal bersekolah. Pas lagi istirahat, anak-anak yang lain pada pergi ke kantin, sementara aku hanya berdiam diri dipinggiran sambil menatap langit dan berkata,”kejamnya dunia.” begitulah yang terjadi dari istirahat ke istirahat. Hingga suatu ketika entah mengapa, seorang anak (nama disamarkan karena lupa) mengajakku ke kantin, mungkin karena merasa iba dan gak tega ngeliat sekolahnya kedatangan gembel kesepian kayak aku gini. Dan untuk pertama kalinya aku mengeluarkan uang jajanku yang dari kemaren mendekam dikantong sampai membusuk..
Setelah kejadian itu, uang jajanku satu persatu lari terbebas dari penjara kantong ku, dan perut pun bersorak sorai bergembira kedatangan amunisi makanan. Hal tersebut juga membuat otot wajahku bergerak kesana kemari membentuk wajah ceria. Sedikit demi sedikit rasa bosan dan jenuh yang tadinya menggerogoti otakku kini mulai bertransmigrasi ke anak lain yang putus asa. Dari kejauhan tampak anak tersebut mendadak teriak karena rasa bosan dan jenuh menggerogotinya.
Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, minggu demi minggu, bahkan ngemis demi sesuap nasi telah aku lewati. Para penduduk SD Antonius mulai menyadari kehadiranku yang muncul bersama sinar cahaya lampu senter bertenaga kuda poni. Aku pun cukup populer dikalangan ”anak-anak yang ingin tahu siapa murid baru itu”. Kebetulan ditahun sebelumnya ada anak yang datang dari Batam juga, namanya Maria. Alhasil teman-temanku pada mengira kalo aku adalah saudaranya Maria, padahal jelas-jelas beda, Maria itu perempuan, sedangkan aku,”pria diantara pria”.
Dari sini ada dua hal yang dapat aku pelajari. Yang pertama, bahwa, sesungguhnya pelajaran kelas 6 dan kelas 5 itu beda. Kelas 6 lebih rumit dan complicate dibanding kelas 5. Bahkan kelas 5 aja nilainya udah pas-pasan, apalagi kelas 6, pantas-pantasan aja buat dipandang orang tua. Yang kedua, bahwa, sesungguhnya apa yang tampak bosan diawal, belum tentu bosan diakhir. Apa yang tampak buruk diawal, belum tentu buruk diakhir. Kalo berada disituasi membosankan dan menjengkelkan, jalani saja, ntar lama-kelamaan kan bakal terbiasa...
....Terbiasa bosan...
Senin, 04 Oktober 2010
Nama Saya Louis
Dengan rambut belah tengah rapi, pakaian seragam baru beli, dan sepatu yang bukan asli itali, maka berangkatlah aku ke sekolahku yang baru. Dengan lincah ku seberangi jalan yang ramai kemudian menghindari makhluk besi beroda empat dan serangga beroda dua. Ibuku yang nganterin aku ke sekolah pun terheran heran dengan tingkah laku konyol ini dan sempat shock beberapa mili sekon. Sementara adikku yang masih polos jadi ikut-ikutan shock saking konyol nya.
Jalan demi jalan ku lalui. Langkah demi langkah ku langkahkan. Detik demi detik ku jalani. Namun sejujurnya jarak antara rumahku dengan sekolahku yang baru cuma dari seberang ke seberang, dari sisi sini ke sisi sana. Ato gampangnya tinggal nyebrang aja uda nyampe sekolah.
Waktu itu rame banget, penuh dengan anak-anak berkostum putih merah, atas putih bawah merah. Beberapa anak yang kayaknya sebaya sempat ngelirik kearahku dan terheran heran. Ada yang ngelirik sambil bisik-bisik. Ada yang ngelirik sambil nunjuk-nunjuk. Ada yang sambil pemanasan juga, bahkan ada yang sambil mengasah pisau sama golok.
Ibuku sempet nanya sama salah satu anak, ”dek, kelas 6 dimana ya??” kemudian anak itu menjawab, ”oh, murid baru ya tante?? Saya juga kelas 6.”
”oh iya? Kalau gitu tolong diantarkan ke kelas ya.”
”iya tante.”
”ni yok, ikut sama temenmu.” kata ibuku sambil nunjuk ke anak tadi.
Dan tanpa basa basi, aku gandeng tangan anak tadi.. ah tidak, aku tak sehomo itu, jadi aku ikutin aja anak tadi. Kelak anak tadi akan bernama Arvin dan dialah teman seperjuangan nanti, begitu kata sejarah.
Sampe di kelas langsung nyari bangku kosong yang gak ada hantunya (kalo bisa). Kalo bisa cari tempat yang dibelakang sendiri, jadi bisa tiduran. Ada tiga tempat duduk yang tersedia, yang satu ada di depan pojokan, satunya dibarisan kedua dari depan pojokan tepat di belakangnya tempat duduk kosong tadi, yang satunya lagi tempat duduk paling depan yang arahnya paling beda sendiri, dan aku yakin itu tempat duduk buat guru.
Dengan berbagai pertimbangan aku milih tempat duduk barisan kedua tadi, disebelahnya udah ada yang nempatin. Baru aja naruh tas disitu, tiba-tiba seorang bocah nongol.
”kowe cah anyar to? Kowe lungguh kene wae.” Sambil nunjuk ke tempat duduk bagian depan yang kosong satu karena sebelahnya uda ada penghuninya yang kuyakin seorang anak perempuan.
Aku sempat berpikir sesaat, bahasa apa ini?? Setelah menjungkir balikkan otak, aku tau, mungkin artinya,”wajahmu tampan sekali.”(yang protes maju). Namun ternyata bukan itu artinya, dalam kamus bahasa jawa, artinya adalah, ”kamu anak baru ya?? Kamu duduk disini aja.”
Dengan berbagai pertimbangan dan supaya gak dikeroyok sama satu kelas, akhirnya aku taati saran, ato mungkin perintah dari anak tadi supaya pindah depan. Bel tanda masuk pun berbunyi, anak-anak pada masuk kelas. Ternyata benar, yang duduk sebelahku adalah perempuan yang sangat menakutkan. Dengan rambutnya yang keriting dan kulitnya yang gelap. Sempat berpikir, apa aku bisa bertahan selama setahun disini?? Gawat. Padahal yang aku harapkan seorang gadis cantik yang duduk disebelah, tapi apa daya, mungkin sudah diatur sama yang diatas.
Seorang ibu guru yang berumur sekitar 30an tahun masuk. Tubuhnya yang mungil tampak dari kejauhan. Kelak ibu itu bernama bu Hatmi yang bakal mengajar dan menjadi wali kelas selama setaun.
”selamat pagi anak-anak.”
”selamat pagi buu.....”
”hari ini kita kedatangan murid baru, mungkin bisa maju buat perkenalan..” kata ibu itu sambil mempersilahkan.
Dan inilah saatnya untuk memperkenalkan dunia, untuk menunjukkan keberadaanku dengan berkata...
” nama saya Louis Cahyo Kumolo, saya biasa dipanggil Louis....”
Jumat, 01 Oktober 2010
My Mother Just Save Me from Situasi Genting
Pada akhirnya sesuai dengan yang tertulis dalam “kisah hidupnya si Louis” bahwa SD kelas 6 akan dilanjutkan di Semarang. Sekolah itu bernama SD Antonius 02. Letaknya tepat dihadapan rumah kontrakanku. Jadi kalo mau berangkat sekolah tinggal nyebrang doang. Namun nyebrang rupanya tak segampang itu, karena kalo ada mobil lewat, kita gak bisa langsung nyebrang, kalo ada motor lewat kita juga gak bisa langsung nyebrang, apalagi kalo ada si Komo lewat... macet deh..
Proses diterimanya di SD Antonius 02 tak segampang yang dikisahkan nenek moyang. Ada beberapa langkah yang harus ditempuh, seperti manjat tebing dengan kemiringan 90 drajat celcius, lalu bertahan dibawah air terjun niagara, kemudian berhadapan face to face dengan panda, dll.
Yang paling sulit adalah ngerjain soal ato istilah gaulnya tes masuk sekolah. Sebenarnya soal yang dikasih gak susah-susah amat. Ngerjain dengan kuping tertutup pun uda bisa. Tapi biar gak keliatan jenius, akhirnya ngerjain apa adanya.
Setelah beberapa jam mengerjakan akhirnya selesai juga hasil mahakarya. Abis itu langsung di koreksi sama pihak yang berwajib. Beberapa menit kemudian hasil keputusan akhir keluar. Aku bersama kedua ortuku langsung tegang. Suster yang juga berprofesi sebagai kepala sekolah pun berkata,
”pak, ini mumpung anaknya masih muda, bagaimana kalau dimasukkan kelas 5 saja??”
Kelas 5??!! Bagaimana mungkin bisa?? Usahaku sia sia dong telah mengalahkan monster panda dan juga mendamaikan uni soviet n USA. Kemudian sang suster menjelaskan,
”jadi begini, hasil tes nya tidak begitu baik seperti yang dirapot. Anak bapak sendiri juga tidak jeli dalam mengerjakan soal, diperintah tertulis untuk memberi lingkaran pada jawaban yang benar, tetapi anak bapak membuat tanda silang, bukan melingkari.”
Inilah jadinya kalo ada perbedaan budaya, karena di Batam terbiasa menyilangi jawaban yang benar, tapi di Semarang beda rupanya. Sang suster melanjutkan,
”bagaimana pak?? Saya takutnya kalau anak bapak tidak bisa mengikuti di kelas 6 nanti.”
Papaku tampaknya tak bisa berbuat apa-apa, kemudian minta pendapat ibuku. Dengan segala tindakan, ibuku pun akhirnya berkata,
”enggak bu, anak saya tetap melanjutkan kelas 6 sd”
Dan ombak pun berhembus dari belakang...
”kalau begitu anak ibu bisa membuat surat pernyataan untuk berjanji mengikuti kelas 6 ini dengan baik.”
”oh engga apa apa bu.” balas ibuku gak mau kalah.
Dan konflik ini berakhir dengan sebuah surat yang berisi pernyataan bahwa aku tak akan mengupil,,, maksudku aku akan mengikuti kelas 6 dengan baik dan berjanji bahwa aku bisa mengupil,,, maksudku aku bisa lulus dari SD..
My mother just save me from situasi genting....