Selasa, 26 Oktober 2010

Happy Ending



Suatu ketika seorang pasukan khusus diterjunkan ke sebuah pedalaman asing. Entah bagaimana caranya orang itu harus bisa berbaur dengan masyarakat setempat. Dengan berbekal kemampuan individunya yang canggih dan spektakuler, serta pengetahuan tentang budaya penduduk di daerah pedalaman tersebut yang lumayan, dalam waktu beberapa bulan, orang itu sudah mampu beradaptasi. Dan seperti film pada umumnya, kisah ini berakhir happy ending. Tidak hanya beradaptasi, bahkan pasukan khusus tersebut berhasil menghidupkan masyarakat setempat.


Berbeda dengan kisah yang satu lagi. Seorang anak diterjunkan ke sebuah kota yang menurutnya asing namun bagi orang lain justru anak itulah yang asing. Entah bagaimana caranya tuh anak harus bisa berbaur dengan anak-anak SD setempat. Dengan berbekal kemampuan individu pas-pasan, serta pengetahuan tentang budaya penduduk di daerah sana yang minim, dalam waktu beberapa minggu aja uda gak betah. Dan seperti film pada gak umumnya, kisah ini mungkin berakhir dengan sangat mengganjal tenggorokan. Jangankan teman dekat, diakui aja enggak.


Itulah yang terjadi pada diriku selama mengemban tugas sebagai pelajar mata-mata kelas 6 di SD Antonius 02. Situasinya benar-benar seperti medan tempur antara 2 suku pedalaman yang bersengketa memperebutkan lahan parkir. Kehadiranku mungkin cuma sebagai lelucon. Bayangkan, seorang bocah dengan tampang konyol tanpa prestasi apapun berani-beraninya hadir dihadapan para anak senior yang lebih dulu menjajah sekolah.


Kalo tidak salah ada seorang anak yang seharusnya udah SMP, tapi pada kenyataannya dia masih kelas 6 SD. Dan jumlah anak itu tidak hanya satu. Bisa dibilang merekalah pemegang sekolah selama bertahun-tahun, setelah kepala sekolah tentunya. Salah satunya yang terkenal namanya Yoyo, dan kebetulan anak ini sekelas. Pernah suatu ketika seorang anak nangis karna ulahku, dan pada saat itu juga si Yoyo datang menghampiri sambil marah-marah, menempeleng, dan berkata,” koncoku mbok apakke??! kowe ki cah anyar rak usah kemaki.” untuk sejenak aku gak paham sama kata-katanya, tapi setelah buka alfalink, artinya adalah,” temenku kamu apain??! Kamu tu anak baru nggak usah bertingkah.”


Rintangan tidak hanya itu, masih ada pelajaran Bahasa Jawa, sebuah pelajaran yang mirip dengan pelajaran Bahasa Indonesia, namun lebih susah dan menggunakan Bahasa Jawa, Aksara Jawa, pantun Jawa, logat Jawa, Budaya Jawa, dan Jawa-Jawa yang lainnya. Seandainya aku orang bule, mungkin ini bisa jadi pelajaran favorit sepanjang abad (karna konon katanya orang barat sana sangat menyukai budaya Jawa), namun sayangnya kenyataan berkata lain, aku bukan orang bule, aku orang pribumi tulen. Selama setaun pelajaran inilah yang paling anjlok (setelah IPA dan IPS). Sempat berpikir, jangan-jangan ntar nggak lulus gara-gara pelajaran Bahasa Jawa ini.


Hampir semua problematika anak SD kelas 6 aku hadapi sendiri, mulai dari pelajaran, pertemanan, bahkan percintaan. Waktu itu pun aku pernah nembak cewek pake surat, tapi hasilnya NOL besar, cinta ditolak habis-habisan. Seandainya waktu itu punya dukun.. maksudku temen deket, setidaknya bisa konsultasi dulu sebelum melakukan tindakan bunuh diri. Masalah pelajaran juga sangat memprihatinkan. Di hari awal sekolah, satu-satunya anak yang nggak ngerjain tugas rumah adalah...aku... seandainya waktu itu punya temen deket, setidaknya bisa nyonto dulu pas pagi hari sebelum ayam betina berkokok. dan ketika itu pun aku disuruh les privat sama om ku sendiri yang kebetulan guru SD (dan berkali-kali aku pura-pura ngantuk biar nggak jadi les).


Begitulah nasib dari seorang pasukan khusus atau biasa disebut dengan ”anak kuper”. Melakukan segalanya sendiri, hampir segalanya, karna ditengah-tengah medan pertempuran aku mendapat bantuan dari penduduk lokal (sebut saja temen-temen sekelas) yang merasa iba. Si Yoyo pun berhasil diatasi dengan cara,”tidak melakukan ulah” lagi. Cara tersebut juga ampuh untuk mengatasi masalah dengan para senior yang lain. Memang pada kodratnya mungkin seorang anak baru tidak boleh ber ulah ataupun ber tingkah, yang boleh cuma para pejabat sana.


Pelajaran Bahasa Jawa yang tadinya ”hancur” pun kini sudah tidak begitu ”hancur”. Dengan tekad pejuang kaki lima, aku belajar mati-matian buat menghapal segala aksara jawa yang ada (dan kurang dari 50% yang bisa dikuasai). Alhasil aku berhasil naik ke tingkat yang lebih mending dari kata ”hancur”, yaitu tingkat ”parah”.


Dan ternyata akhirnya, seperti film-film Bollywood pada umumnya, kisah ini happy ending. Bocah itu (maksudnya aku) berhasil lulus dengan nilai pas-pasan, dia (lagi-lagi maksudnya aku) pun berhasil beradaptasi dengan penduduk lokal (dan sekali lagi sebut saja temen-temen sekelas), walaupun cintanya tetap bertepuk pramuka..


Kemudian masa SMP menunggu dengan manisnya di lembaran hidupku berikutnya...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar